Wednesday, 3rd October 2018 at 09:38:21
Kita bertanggung jawab di semua aspek dalam hidup, lantas kenapa tidak dengan sampah sendiri?
Anda keluar dari supermarket dengan perasaan puas. Karena saat kasir bertanya apakah Anda mau kantong plastik untuk menampung belanjaan, Anda kontan menjawab, “No, thank you!”, lantaran Anda membawa tas belanja sendiri.
Score for the environment!
Memang bagus, tapi… bagaimana dengan barang belanjaan yang berada di dalam tas pakai ulang Anda? Apakah bisa didaur ulang? Jika ya (atau tidak), apa yang Anda lakukan dengan barang tersebut?
Kenyataannya tiap hari tong kita bakal dipenuhi oleh sesuatu, “efek samping” dari kegiatan sehari-hari. Amati lebih dekat dan kebanyakan dari barang-barang di tong Anda sebetulnya masih bisa didaur ulang. Bertanggung jawab atas sampah kita sendiri tak semata tentang membuang sampah pada tempatnya namun juga mengetahui tipe sampah yang kita hasilkan dan memilahnya sesuai kategori.
Apabila kita ingin mencapai gaya hidup bebas-sampah-menuju-TPA, maka komitmen sangatlah dibutuhkan, dan beberapa cara untuk mewujudkannya adalah melalui tindakan pencegahan (seperti mengurangi dan memakai ulang) dan mengadopsi prinsip pengelolaan sampah yang bertanggung jawab.
Membentuk Habitat Bebas Sampah
Peringatan Hari Habitat Dunia pada 1 Oktober silam menyorot subjek “Pengelolaan Sampah Solid Rumah Kota”, mengangkat fakta kalau tiap tahun kita menghasilkan 2 TRILIUN ton sampah, dan hanya antara 25% – 55% dari sampah tersebut diangkut oleh pihak berwenang.
Sampah yang tak dikelola (atau penanganannya yang tak benar, seperti dibakar) bakal menimbulkan dampak ke dalam tiap aspek hidup kita, dari penyakit yang ditularkan dari udara hingga perubahan iklim, dan mempraktekkan pengelolaan sampah bertanggung jawab bisa mengatasinya dan meningkatkan kualitas hidup. Tindakan ini selaras dengan Tujuan Pembangungan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) poin 12 yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), “Produksi & Konsumi Berkelanjutan”, yang mendukung pengelolaan sampah bertanggung jawab melalui tindakan pencegahan, reduksi, daur ulang, pakai ulang, dan pengurangan sampah makanan.
“Kita semua semestinya berupaya mewujudkan komitmen untuk mengubah kebiasaan kita,” ujar Paola Cannucciari, Manager Program ecoBali. “Kita mesti memikirkan ulang cara kita berperilaku dan menggabungkan kebiasaan baru yang lebih bertanggung jawab seperti selalu membawa botol minuman, serta tas dan sedotan pakai ulang.”
Tindakan bertanggung jawab atas sampah kita bisa dimulai dari memilah sampah menjadi dua kategori: non-organik dan organik, di mana tujuannya adalah untuk mencari sampah yang masih bisa didaur ulang (recyclables), mencegah kontaminasi dari sampah “basah” seperti sampah makanan, dan untuk memastikan kalau semua residu ditangani dengan baik dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) resmi.
“Bertanggung jawab atas sampah sendiri bisa mengurangi jejak sampah kita hingga 80 persen, dan apabila tidak hanya akan menambah sampah di TPA,” lanjut Paola. “Dan bertanggung jawab atas sampah kita juga berarti Anda tahu ke mana sampah Anda di bawa, apa yang terjadi dengan sampah tersebut, dan siapa yang mengelolanya.”
Lantas apakah Anda bisa menjawab tiga pertanyaan itu?
Ini yang Terjadi dengan Sampah Anda
Berikut merupakan skenario yang lazim:
Ke mana nasib sampah Anda? Biasanya ke pegunungan sampah di TPA, yang bakal jadi tempat “pemakaman” bagi mayoritas sampah organik dan non-organik kita. Kemungkinan lain adalah ke halaman belakang rumah atau ke sungai dan laut, yang bisa dimaklumi apabila semua sampah Anda tergolong organik.
Apa yang terjadi dengan sampah tersebut? Bila ke alam, sampah organik akan terurai secara alami, dan yang non-organik—pastinya Anda pernah melihat foto-foto sampah mengotori pantai dan berenang di laut di mana sampah plastik bakal terurai menjadi mikroplastik, kudapan “favorit” para hewan laut masa kini. Kalau sampah masuk ke TPA, kumpulan sampah organik dan non-organik bakal menumpuk dan mencemari tanah serta air di sekelilingnya. Tumpukan ini juga berpotensi menimbulkan metana, salah satu gas yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Dan Siapa yang mengelolanya? Pemerintah lokal (seperti banjar) yang mengelolanya, tapi kemungkinan besar mereka bakal membuangnya ke TPA di mana pemulung akan berkeliling mengaduk timbunan sampah organik yang membusuk demi menemukan recyclable. (Walau begitu, baru-baru ini ada tindakan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi, seperti membangun pusat pemilahan sampah desa bernama TPS 3R [Tempat Pemilahan Sementara Reduce Reuse Recycle] di mana sampah akan dipilah dan didaur ulang, dan residu dibawa ke TPA resmi.)
Pegang Kendali Sendiri
Di skenario alternatif, ANDA yang mengendalikan narasi. Anda yang memutuskan ke mana sampah tersebut di bawa, apa yang terjadi dengan sampah itu, dan siapa yang mengelolanya. Bila Anda tidak suka sampah dibawa ke TPA, maka bawalah ke orang atau perusahaan yang bisa mengelolanya secara bertanggung jawab.
Seperti disebut sebelumnya, mengetahui jenis sampah yang Anda hasilkan merupakan bonus: beberapa materi lebih mudah didaur ulang daripada yang lainnya, dan Anda tahu apa saja jenisnya. Membeli produk/kemasan terbuat dari kertas (seperti karton minuman memiliki lapisan 75% kertas) dan bisa dibilang alternatif yang lebih baik karena materinya gampang didaur ulang, atau bila diberi pilihan antara membeli sampo dalam botol plastik keras atau dalam kemasan sachet, pilihlah yang botol karena sachet sulit didaur ulang dan akan jadi residu di TPA.
Berbicara tentang plastik, materi ini tengah dapat sorotan negatif belakangan ini, dan memang sudah semestinya. Jumlahnya di alam bersama dengan sampah non-organik lainnya seperti sachet atau pupuk merupakan masalah pelik tak hanya di Bali tapi juga di seluruh dunia.
Tapi, lagi-lagi, kita sebagai konsumen bisa mengatasi masalah ini: ya, minum langsung dari kelapa mungkin sulit sehingga penggunaan sedotan diperlukan, tapi pernahkah Anda memikirkan apa yang terjadi kepada sedotan itu setelah dipakai? It’s single-use, maka akan langsung masuk ke tong sampah. Maka bukankah lebih baik untuk menolaknya?
Pada intinya: KITA bisa menjadi bagian dari solusi, dan yang diperlukan hanyalah kesadaran dan bertanggung jawab atas sampah yang kita hasilkan, lalu memberikan komitmen 100% atas kebiasaan baru ini.
Siap memulai perubahan?