Monday, 16th April 2018 at 03:47:49
Langkah simpel untuk menciptakan gaya hidup berkelanjutan
Pastinya Anda pernah melihat truk yang melintasi kota untuk mengangkuti sampah? Dan kini Anda pun teringat kembali “aroma” menusuk yang sontak membuat Anda langsung ingin bernapas melalui mulut.
Ya, amati lebih jauh dan Anda bakal melihat beragam sampah di dalamnya: dari botol plastik ke kulit pisang ke kardus ke dedaunan kering ke kantong plastik ke sisa sayur-mayur ke kertas dokumen ke batok kelapa ke sandal tanpa pasangan ke segala macam barang buatan manusia lainnya. Pernahkah Anda penasaran apa yang bakal terjadi ke sampah yang tidak dipilah tersebut? Apakah itu justru membuat Anda penasaran dengan apa yang terjadi ke sampah Anda sendiri? Bisakah sampah-sampah tersebut didaur ulang?
Sampah yang terkontaminasi, seperti kertas yang lengket gara-gara tercampur dengan kantong plastik berminyak atau sisa makanan siang seseorang, akan berkurang nilainya; dan sampah yang tak terpilah bakal lebih sulit didaur ulang lantaran akan memakan biaya lebih besar, menyerap lebih banyak tenaga kerja manusia untuk memrosesnya, dan terkadang saking terkontaminasinya sampah tersebut tak bisa didaur ulang sama sekali.
Apabila terkontaminasi, sampah-sampah yang memiliki potensi untuk didaur ulang bakalan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Red & Green
Pemilahan sampah di rumah (entah itu dari rumah, kantor, vila, restoran atau bahkan festival berskala besar) adalah komponen kunci dalam upaya untuk mengalihkan sampah dari TPA dan untuk memaksimalkan pencarian sampah yang masih bisa didaur ulang.
“Misi utama kami di ecoBali adalah bebas-sampah-ke-TPA, dan untuk mewujudkannya kami mencoba untuk mendaur ulang sebanyak mungkin,” ujar Ketut Mertaadi, Direktur ecoBali. “Dan bagaimana kami melakukannya? Dengan memilah sampah di sumber supaya sampah yang masih bisa didaur ulang tidak terkontaminasi.”
Lantas bagaimana caranya menghindari kontaminasi? Di ecoBali, kami menerapkan pemilahan di sumber (waste separation at source) di mana kami menyediakan dua tong sampah (atau bin) yang berbasis warna untuk mempermudah proses pemilahan: merah untuk plastik (segala jenis plastik, termasuk kantong plastik), kaleng, dan gelas; sementara hijau untuk kertas (termasuk karton susu dan jus). Dan kami mendorong orang-orang untuk mengubah sampah organik mereka (sampah dapur dan kebun) supaya tidak tercampur dengan sampah non organik.
Namun tak dimungkiri, meyakinkan orang untuk memilah sampah masih sulit, seperti yang dijelaskan oleh Pak Ketut yang mengungkap kalau Indonesia tampaknya masih berkutat di fase “buanglah sampah pada tempatnya”, belum naik level ke fase pemilahan dan mendaur ulang sampah. Walau begitu, problem ini sebenarnya terjadi secara global: populasi bumi memproduksi sekitar 300 juta ton plastik tiap tahun, dan hanya 11 persen yang didaur ulang.
Untungnya, warga yang prihatin soal masalah sampah kian berkembang tiap tahun. “Pemilahan sampah di sumber mencakup beragam elemen penting – tak hanya memberdayakan tiap individu untuk lebih mengetahui produk dan kemasan yang mereka konsumsi, tapi juga memungkinkan kita untuk lebih peka terhadap sampah yang kita hasilkan,” kata Kelly Ariella, salah satu pendiri Air Festival, yang untuk perhelatan tahun ini menggunakan jasa bin merah dan hijau ecoBali. “Dengan menjadi lebih proaktif dan terlibat dalam proses pemilahan, kita jadi lebih bisa fokus dalam menciptakan sistem yang lebih efisien untuk menggunakan kembali [reuse] dan daur ulang [recycle] sampah.
Separate, Don’t Contaminate
Ada banyak cara untuk memaksimalkan pencarian sampah yang bisa didaur ulang, seperti berikut ini:
Red
Hijau