Mengajarkan Pemilahan di Banjar Via Bank Sampah

Seorang kakek memasuki gedung banjar. Ia mendorong troli sarat kardus yang tertumpuk tinggi ke seorang pria berkaca mata yang memegang timbangan gantungan supaya bawaannya bisa segera ditimbang. Tak lama, angkanya muncul: 90kg—sampah terberat yang pernah dibawa oleh warga banjar Aseman Kangin ke bank sampah mereka, Aseman Lestari. Sang pria berkacamata, bendahara di bank sampah tersebut, mencatat berat dan uang yang diterima oleh kakek itu ke buku tabungan. Mungkin tak banyak tapi dibiarkan lama tabungan itu bisa menggunung.

Perlu ditekankan kalau bank sampah adalah untuk jangka panjang, seperti reksadana yang memungkinkan Anda untuk menabung dalam jumlah kecil tapi profitnya bakal cukup besar setelah sekian tahun. Tapi berbicara tentang “jangka panjang” di sini tak hanya menguntungkan orang tapi juga lingkungan. Salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi dunia saat ini adalah soal sampah: kita menghasilkan sekitar 5000 ton sampah per hari, dan hanya sebagian kecil yang dikelola secara bertanggung jawab. Jadi daripada membuangnya semata, bank sampah mendorong Anda untuk menabung sampah Anda, dan menjualnya.  

Salah satu poin dari  17 Sustainable Development Goals (SDG) yang ditetapkan PBB adalah Responsible Consumption and Production, yang bisa dicapai melalui prakter ekonomi sirkular yang termasuk mengurangi produksi sampah secara substansial melalui pencegahah, pengurangan, daur ulang, dan penggunaan kembali; dan memastikan semua orang mendapatkan informasi yang relevan dan kesadaran untuk menjalankan hidup secara berkelanjutan dan gaya hidup yang selaras dengan alam—keduanya (kami harap) bisa menjadi hal lazim pada 2030.

Konsep bank sampah, bersamaan dengan penyebaran akan kesadaran tentang lingkungan yang konsisten, memenuhi kedua poin tersebut.  Memang secara superfisial tujuan utama bank sampah dimotivasi oleh uang: tempelkan harga ke botol plastik bekas Anda, dan otak orang dewasa kita akan langsung berpikir, “ka-ching!” Mungkin tidak ada tujuan mulia di baliknya, dan sah-sah saja pemikiran seperti itu. Tapi supaya satu hal bisa berubah, apalagi bila kita berbicara tentang lingkungan, segala bentuk katalis patut kita coba untuk memenuhi target SDG 2030.

Walau begitu, butuh kesabaran untuk benar-benar merasakan efek positif bank sampah. Imbalan finansialnya mungkin tak bakalan bertambah dengan cepat, dan tak juga bakal mengatasi masalah lingkungan secara instan. Tapi prosesnya sendiri cukup menjanjikan karena akan menyisipkan kebiasaan baru memilah sampah ke dalam hidup mereka sehari-hari, dan jelas hal itu sangat bagus untuk lingkungan! Satu hal yang mesti ditekankan lagi adalah sampah non-organik dan organik yang tercampur bakal menyulitkan pengambilan sampah yang bisa didaur-ulang (botol plastik, kertas, karton minuman, dsb), dan kalau kadar kontaminasinya terlalu tinggi, maka sampah tersebut sudah tidak bisa didaur ulang.

Pemilahan sampah mencegah hal tersebut, dan bank sampah membuatnya jadi kebiasaan.

“Kami membentuk bank sampah kami, Aseman Lestari, sejak tahun lalu. Awalnya susah banget untuk mendorong orang untuk ikut bergabung dan memilah sampah mereka sendiri,” ujar Dewan, sang bendahara. “Tapi sekarang saya bangga bisa bilang kalau untuk beberapa orang, mereka tak lagi menganggap memilah sampah sebagai beban. Bahkan, sebagian orang-orang tua bakal jalan-jalan keliling banjar, memungut sampah dan membawanya ke rumah.”

Mau Setor atau Tarik Uang?

Oke, kini Anda mungkin bertanya: terus bagaimana cara kerja bank sampah?

 

Bila Anda membayangkan gedung khusus dengan satpam ramah yang menyambut Anda di depan—jangan, dalam artian jangan membayangkan tampilan bank yang familiar dan karakteristik lainnya. Bank sampah komunitas biasanya tidak memiliki gedung khusus kecuali gedung banjar yang dialih-fungsi sebagai lokasi untuk pengumpulan dan pengambilan sampah warga yang telah terpisah yang dilakukan sekali atau dua kali dalam sebulan, frekuensinya tergantung pada jumlah sampah yang dihasilkan. Tim operasional bakal ditunjuk untuk menjalankan bank sampah, seperti pimpinan, wakil, dan bendahara, dan merekalah yang bakal mengingatkan anggota untuk mengumpulkan sampah tiap bulan.

Peralatan yang dibutuhkan adalah timbangan gantung dan buku tabungan. Dan setelah semuanya terkumpul dan ditimbang, ecoBali—di bawah ekstensi program bank sampah kami sendiri, Ini Bukan Sampah (IBS)akan datang untuk mencatat jumlah sampah dan nilainya, lalu membawanya supaya bisa didaur ulang. Sesimpel itu.

Salah satu tujuan IBS adalah untuk meningkatkan kesadaran pengelolaan sampah bertanggung jawab di level masyarakat. Kami akan mendekati dan mensosialisasikan konsepnya ke warga di banjar, dan setelah mereka tertarik, kami akan menyediakan pelatihan dan peralatan yang dibutuhkan supaya mereka bisa segera mengoperasikan bank sampah, lantas tiap bulan kami akan memonitor dan mengevalusi perkembangannya.

 

“Alasan kami rutin memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep bank sampah—entah ke hotel, sekolah atau di banjar—adalah kami mereka ingin lebih aware soal lingkungan,” kata Bintang Reditya, kordinator projek Ini Bukan Sampah. “Kami ingin mereka tahu kalau sampah mereka bisa didaur-ulang dan punya kehidupan baru, dan kamu bisa menghasilkan uang dari sampah itu.”

Bagi beberapa warga, uang yang didapat bisa menjadi sumber dana pensiun atau dana darurat, ditabung untuk acara atau upacara khusus. Sebagai bonus, lingkungan pun jadi bersih! “Lingkungan di banjar kami jadi lebih bersih semenjak kami membentuk bank sampah sendiri,” lanjut Dewan. “Dan perlahan-lahan warga jadi belajar soal pentingnya pemilahan sampah, dan menyadari kalau sampah non-organik punya nilai.”

Bank sampah Aseman Lestari sejauh ini telah mengumpulkan 180kg sampah yang bisa didaur ulang tiap bulannya. “Awalnya, kami hanya memiliki 10 anggota aktif, dan kebanyakan dari mereka adalah orang tua yang jelas punya lebih banyak waktu, tapi pelan-pelan pola pikirnya mulai berubah, dan kini kami memiliki 50 anggota, dan mereka semuanya dari berbagai kalangan usia, bahkan anak SD.”

Apabila Anda melihat social media atau liputan televisi belakangan ini, Anda mungkin akan berpikir  kalau Bali, kalau tidak dipuja sebagai surga tropikal, adalah pulau sarat sampah. Memang sebagian cukup benar, tapi seperti yang kami sebelumnya, untuk mengubah kebiasaan orang membutuhkan kebiasaan dan yang bisa kita lakukan adalah mengambil tindakan daripada komplain semata. Banjar Kulibul Kangin dan Aseman Kangin telah melakukan hal tersebut. Bahkan, sebelum membentuk bank sampah, Aseman Kangin telah sering mengadakan kerja bakti di sekeliling banjar, entah 2 – 3 bulan sekali. Dan sekarang dibawa ke mana sampah yang dikumpulkan?

Ya ke bank sampah!

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *