Wednesday, 17th October 2018 at 09:22:19
Alam telah memberikan kita begitu banyak berkah jadi sudah sewajarnya kita melakukan hal yang sama
Kami selalu mendorong gaya hidup yang “Bebas Sampah”.
Apa makna di balik istilah tersebut? Artinya kita menghasilkan nol sampah yang masuk ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) atau alam dan mengadopsi prinsip ekonomi melingkar (circular economy) di mana tiap sampah mendapatkan “kehidupan” baru.
Mengurangi (atau menghilangkan sama sekali) juga dianjurkan, terutama buat sampah makanan kita—satu-satunya tipe sampah yang semestinya dikembalikan ke alam.
Di blog post terakhir tentang sampah makanan, kami menyinggung tentang alasan-alasan di balik produksi sampah makanan berbeda di negara maju dan negara berkembang: yang pertama kerap membuang makanan di level konsumen, dan di negara berkembang pembuangan terjadi di tahap produksi dan distribusi karena fasilitas dan infrastruktur yang buruk. Semuanya dirangkum dalam laporan Food and Agriculture Organization (FAO) yang mengungkap kalau 1/3 dari semua makanan yang diproduksi di seluruh dunia (sekitar 13 milyar ton) terbuang sia-sia, dengan detail 45% buah dan sayur-mayur, 35% seafood, 30% sereal, 20% produk susu, dan 20% daging.
What a waste!
Secara umum, kita menghasilkan lebih banyak sampah organik dibandingkan non-organik, terutama di area urban. Jumlah tersebut kian terpicu seiring dengan tren makanan yang bisa jadi “trending topic” di jejaring social, mendorong kita untuk mengonsumsi meski tak lapar; dan kemasan memikat di supermarket memersuasi kita untuk belanja berlebih mesti tak butuh. Tentu, makanan tetap memainkan peran dasarnya: untuk menghilangkan rasa lapar setelah seharian kerja keras, tapi seringkali kita memesan makanan dengan porsi berlebih. Konsekuensinya: sisa makanan yang terbuang.
“Memang lucu kalau mengingat ‘hubungan’ kita dengan makanan seiring kita beranjak dewasa,” ujar Dwi Sasetyaningtyas, atau Tyas (26), otak di balik akun Instagram dan situs yang eco-conscious, Sustaination. “Waktu kecil, orangtua sering bilang kalau aku mesti menghabiskan makanan, kalau tidak Dewi Sri [dewi beras] bakal sedih. Tapi entah kenapa kita tidak membawa kebiasaan itu saat sudah dewasa.”
Do More, Waste Less
Hari Pangan Sedunia jatuh pada setiap tanggal 16 Oktober, dan tujuan dari hari yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini adalah untuk mewujudkan Zero Hunger di 2030; objektif yang bisa kita capai dalam berbagai cara, dimulai dari kita, sebagai konsumer, dengan mengonsumsi secara bertanggung jawab dan sebisa mungkin mengurangi sampah makanan kita.
Seperti Tyas, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), dan yang menuntaskan S2 jurusan Energi Terbaharui di Belanda. Saat ini dia gigih dalam upayanya mengurangi sampah makanan yang dia hasilkan dan untuk membuat stok makanan tahan lebih lama. “Saya sekarang lagi belajar meal planning untuk mencegah menyimpan terlalu banyak makanan,” kata Tyas. “Mengetahui cara menyimpan makanan dengan baik juga penting—tahu tidak kalau kamu menaruh brokoli atau wortel di gelas isi air bisa membuatnya tahan sekitar seminggu di dalam lemari es?”
Sementara bagi Ibu Atiek, mengelola sampah makanan sendiri bisa jadi sumber pemberdayaan. Melalui lembaga nirlaba, Yayasan Wisnu, dan produk sabun Kabar Dari Desa, ibu Atiek dan timnya memberdayakan komunitas untuk mengelola sumber daya alami dan menjadikannya sumber pemasukan. “Setelah upacara di Bali kan biasanya bakal banyak sampah organik, terutama kelapa. Nah sebagai contoh mereka bisa mengekstraksi minyak dari kelapa tersebut, dan bersama sumber alam lain yang mereka miliki, menggunakan minyak kelapa tersebut untuk membuat sabun yang kemudian bisa mereka jual,” ujarnya.
Sementara bagi ecoBali, kami senantiasa mendorong orang untuk memisahkan dan mengompos sampah makanan di rumah, lalu menabur kompos tersebut untuk menyuburkan tanah kebun. “Kami punya sistem komposting yang gampang,” kata Bintang Reditya, Value Chain dan Composting Coordinator ecoBali. “Taruh saja sampah makanan di dalam bin; tambahkan cacing untuk mengurai makanan. Lalu kami melapisinya dengan tanah untuk menutup bau dan jerami yang sarat karbon untuk sirkulasi udara. Lalu ulang lagi prosesnya. Setelah satu hingga dua bulan, kompos sudah bisa dipakai untuk kebun.”
Ada yang bakal bilang kalau sampah itu menjijikkan, sesuatu yang mesti langsung dibuang dan dilupakan. Namun kita juga mesti ingat kalau kita bertanggung jawab atas hal tersebut. Kita mencampur sampah non-organik dengan kulit jeruk, ampas kopi, tulang ayam, potongan sayuran, daun teh, sisa makanan takeaway, dan lain lain, lalu membiarkannya membusuk di TPA.
“Kalau kita mengelolanya dengan baik, sampah itu emas,” ungkap Dr. Ir. Ni Luh Kartini, MS, Ketua Laboratorium Biologi Tanah, Konsentrasi Tanah dan Lingkungan, Fakultas Pertanian Universitas Udayana. “Makanya kita selalu mendorong solusi komposting di rumah daripada mengirim sampah organik kita ke TPA. Namun zaman sekarang kita cenderung mengonsumsi yang instan dan fokus pada makanan siap saji karena ingin melongkapi proses pembuatan makanan.”
Dan dengan perannya sebagai pendiri Yayasan Bali Organic Association, Ibu Kartini telah bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan pertanian organik di desa-desa di pulau Bali. “Dulu kita hidup begitu dekat dengan sumber makanan kita, tanah dan air kita tidak terkontaminasi seperti sekarang karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Semuanya fresh, lokal, dan dimasak sendiri, dan sampah makanan yang dihasilkan kita kasih ke hewan ternak atau dikompos. Untuk seberapa banyak yang kita ambil dari alam kita mesti mengembalikannya ke alam lagi.”