eco-Talk: Rama (R.O.L.E Foundation) – Indo Version

Meet Handoko Ramawidjaya Bumi alias Rama, Media Manager R.O.L.E Foundation. Rama menemukan rumah yang pas untuk menampung kepeduliannya terhadap lingkungan, rutin mengundang anak-anak sekolah untuk datang dan belajar di ecopark mereka (di antara kegiatan-kegiatan lainnya). Yang pasti ia percaya kalau anak-anak jadi kunci untuk menciptakan masa depan yang bebas sampah. Cari tahu kenapa di eco-talk kami bersama keturunan Bali-China ini.

Bagaimana pandangan kamu soal sampah, terutama terkait dengan latar belakang Bali kamu dan dengan apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan sehari-hari?

Masalah sampah terus melonjak tiap tahun—itu saya yakin. Saya tinggal di Sanur, dan berangkat kerja saya selalau melewati tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung yang baunya semakin parah, bahkan dua kali lipat dari tahun 2015. Sebagai orang Bali, memang disayangkan kalau kita telah beralih dari segala hal yang bersifat organik ke plastik di banten (persembahan) sehari-hari. Dulu isinya semua daun pisang dan kelapa tapi sekarang jadi plastik. Di mayoritas upacara Hindu, sekarang ada permen dan bahkan kita tidak membuka kemasan plastiknya.

Apa pengalaman terburuk kamu terkait sampah?

Pernah suatu kali saya datang ke upacara China untuk orang meninggal dan setelah menyebar abunya, mereka juga membuang toples plastik berisi barang-barang persembahan. Saya sempat marah dan mencoba untuk memeringati mereka, tapi tidak ada yang mau dengar. Juga beberapa kali saya datang ke konferensi atau workshop lingkungan dan kotak makanan berserakan di mana-mana! Di meja, di kursi, di jalan setapak, di rumput—di manapun mereka duduk! Saya juga mencoba memperingati mereka tapi respon yang saya dapat adalah “Oh kan sudah ada pembersih, jadi ngapain repot-repot?” Terkadang saya jadi sedih sendiri melihat perilaku masyarakat kita sendiri.

 

Bisa ceritakan peran kamu di R.O.L.E Foundation?

Saat ini saya Media Manager untuk R.O.L.E Foundation dan Bali WISE (program kami yang memberikan edukasi gratis bagi anak-anak perempuan dari keluarga tak berada). Saya bertanggung jawab soal konten kreatif dan juga social media.

Apa yang telah berubah dalam hidup kamu semenjak bekerja di R.O.L.E?

Sebelum saya bekerja untuk R.O.L.E Foundation, sampah bukanlah isu yang saya perhatikan sekali karena saya lebih ke isu kemanusiaan. Tapi bekerja di sini telah membuka mata saya kalau setiap masalah di dunia saling berhubungan dan peduli akan lingkungan bisa menangani enampuluh persen dari masalah dunia. Setiap Sustainable Development Goal terkoneksi dengan lingkungan dan apabila kita bisa menuntaskan isu ini maka isu yang lain bisa ditangani secara efektif dan akurat.

Pengalaman paling berharga dalam posisi kamu sekarang?

Yang pasti di sini merupakan pengalaman kerja paling berkesan di dunia NGO. Saya juga sering bertemu orang-orang yang saya anggap eco-warrior yang tanggap soal mencari solusi. Melihat sendiri dibangunnya Zero Waste to Oceans – Education and Skills Center (di Sawangan, Nusa Dua) juga sangat berkesan. Di tahun 2016 area itu hanyalah tanah kosong, tidak ada tumbuh-tumbuhan sama sekali, dan sekarang setelah dua tahun telah menjadi salah satu pusat edukasi lingkungan terbaik di Bali.

Apa saja kendala dalam menerapkan solusi? Susah tidak meyakinkan orang—keluarga, teman—untuk bertanggung jawab atas sampah mereka sendiri?

Umur saya baru dua puluh satu tahun, dan tidaklah mudah untuk meyakinkan orang-orang dewasa di sekitar saya. Keluarga saya masih belum bisa menghilangkan plastik dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mengurangi pun tampaknya sulit. Meski ibu saya membeli banyak tas pakai ulang tapi dia jarang membawanya ke pasar dan terus meminta plastik. Masalah orang dewasa adalah membuang sampah sembarangan telah menjadi kebiasaan dan mereka tidak menyadari dampaknya, entah sudah seberapa sering foto, video, fakta yang kita tunjukkan, mereka sulit berubah. Mereka bakal memanggil kita segerombolan anak-anak ingusan, dan tahu apa sih kita?

Walau begitu, anak-anak bisa lebih peka soal masalah sampah dan mereka lebih gampang untuk dididik. Keponakan saya yang berusia lima tahun sudah tahu cara memilah sampah dia sendiri dan terkadang suka menceramahi neneknya untuk tidak buang sampah sembarangan. Lucu sih melihatnya. Saya juga sering berdiskusi soal hal edukasi ini kepada Bli Komang dari komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan dan dia menyuarakan hal yang sama. Dia bahkan pernah bilang kalau dia tidak mau jadi tamu pembicara kalau sebagian besar audiensnya adalah orang dewasa.

Hal pertama yang kamu anjurkan ke orang-orang untuk lebih bertanggung jawab soal sampah? Ada tip Zero Waste?

Jangan buang sampah sembarangan—itu langkah pertama! Menghilangkan plastik dari kehidupan kita sehari-hari memang sulit, jadi kita mesti mulai dari hal-hal kecil. Memang kelihatannya tidak penting tapi efeknya bagus sekali. Bali tidak memiliki tong sampah yang cukup dan orang kerap buang sampah sembarangan lalu beralasan, “nggak apa-apa kalau cuman satu.” Kalau kita bisa stop buang sampah sembarangan, maka kita bisa perlahan beralih ke memilah sampah dan mengurangi plastik.

Untuk benar-benar zero waste memang susah apalagi kebanyakan produk kita mengandung plastik, tapi kita bisa mulai dari hal kecil seperti membawa tas belanja dan botol botol pakai ulang, serta sedotan metal setiap pergi ke restoran dan kafe. Usahakan belanja produk organik yang tidak dibungkus dengan kemasan plastik, yang bisa kamu temukan di pasar tradisional. Kalau kamu ditawarkan kantong plastik, bilang tidak perlu dan keluarkan tas kamu sendiri.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *