Wednesday, 2nd May 2018 at 08:20:46
Setelah sebuah produk atau kemasan dibuang ke dalam tong, keberadaan dan kegunaannya dengan seketika berakhir. Barang tersebut akan menjadi sampah semata.
Dan kebanyakan orang akan merasa jijik apabila mesti merogoh tong tersebut untuk mencari sesuatu, kemungkinan menyamakan tindakan tersebut dengan tindakan pemulung atau tukang sampah yang menghampiri tiap tong sampah di kompleks perumahan sembari menarik gerobak besar. Lebih menjijikkan lagi apabila sampah non-organik tercampur dengan sampah organik yang membusuk.
Kesimpulannya: sampah adalah sesuatu yang Anda buang dan tidak ingin lihat lagi. Sekali tongnya tertutup, kita bakal memulai kembali siklus gaya hidup konsumsi-dan-buang.
Satu jenis sampah saat ini tengah “naik daun” lantaran sangat gampang menemukannya di alam: plastik. Oleh karena itulah tema “End Plastic Pollution” jadi sorotan utama Hari Bumi tahun ini. Kata “plastik” zaman sekarang langsung menimbulkan gambaran pantai kotor yang sarat kantong plastik, sedotan plastik, dan kemasan plastik; kematian satwa laut seperti hiu dan penyu; dan mikroplastik yang jadi “favorit” ikan.
Walau begitu, kita masih tetap menggunakan plastik…
Menurut satu studi, produk plastik merupakan aplikasi terbesar dan mencapai 26% dari total volume plastik yang digunakan di seluruh dunia. Produk kemasan plastik diperkirakan bakal berlipat ganda dalam jangka waktu 15 tahun dan melesat empat kali lipat pada 2050, menjadi 318 juta ton per tahun.
Untuk mencegah polusi plastik (dan segala jenis sampah lainnya) membutuhkan perubahan pola pikir. Tak hanya mencegah produksi sampah dengan menjadi konsumen yang cerdas (alias mengurangi konsumsi plastik) dan rutin melakukan pemilahan sampah di sumber untuk memaksimalkan barang yang bisa didaur ulang, tapi juga belajar untuk melihat sampah sebagai barang yang bernilai.
“Barang yang bisa didaur ulang semestinya diakui sebagai sumber daya terpenting yang ketujuh, setelah air, udara, batu bara, minyak bumi, gas, dan mineral,” menurut Biro Daur Ulang Internasional (BIR), organisasi daur ulang tertua dan terbesar di dunia. “Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kewaspadaan soal sumber daya terpenting ketujuh ini dan untuk membentuk pola pikir yang mengutamakan pemikiran kalau daur ulang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan berkelanjutan bagi kita semua dan bagi generasi ke depan.”
Waste to Wealth
Buku Still Only One Earth: Progress in the 40 Years Since the First UN Conference on the Environment menyatakan kalau mengakui sampah sebagai barang yang bernilai yang dapat digunakan dan dieksploitasi daripada hanya dibuang dan dilupakan merupakan pemikiran krusial yang dapat menggerakkan model ekonomi sirkular.
Mengapa dianggap sebagai barang bernilai? Karena botol plastik atau produk plastik lainnya bisa diurai menjadi biji plastik (pellet) yang kemudian dapat digunakan sebagai salah satu bahan dasar untuk pembuatan kaos, dan proses tersebut bisa sangat menguntungkan bagi pembeli dan penjual. Makanya satu cara untuk mengubah persepsi kita dari melihat sampah sebagai barang tidak berguna menjadi sesuatu yang dapat menjadi sumber pemasukan ekstra—atau bahkan yang utama!—adalah untuk menyematkan nilai jual kepada sampah yang kita hasilkan.
“Saat Anda memberikan nilai uang ke sampah Anda, maka semakin besar kemungkinan orang melihat sampah mereka dari sudut pandang yang berbeda,” ujar Ni Made Dwi Septi Antari, Koordinator Edukasi ecoBali. “Jelas ini merupakan cara terbaik untuk melibatkan komunitas lokal dalam aktivitas yang dapat meningkatkan kepekaan soal sampah mereka berdampak terhadap lingkungan.”
Selain bekerja sama dengan brand ternama—sebagai perwujudan dari program Extended Producer Responsibility brand tersebut—dan produsen untuk mengumpulkan dan mendaur uang botol PET, salah satu cara ecoBali dalam mengurangi polusi plastik adalah dengan menawarkan program bank sampah, Ini Bukan Sampah, bagi rumah tangga, sekolah, dan pemilik bisnis.
“Untuk sampah plastik, ada beberapa jenis yang kami ambil, seperti botol PET yang bersih dan kotor; gelas plastik bening dan berwarna; plastik keras [seperti ember atau botol shampo]; dan kantong plastik,” kata Bintang Reditya, Kordinator Projek untuk Ini Bukan Sampah.
Masih banyak tantangan yang mesti dilewati terkait problem plastik sampah (yang paling utama adalah kurangnya kewaspadaan, fasilitas, transport, dan pabrik daur ulang), tapi konsep bank sampah—dipicu oleh gerakan independen—sebenarnya sangatlah cocok dengan eksekusi ekonomi sirkular karena bisa ampuh mendorong orang untuk memilah dan mendaur ulang sampah mereka. Bahkan pemerintah pun mulai menyadari potensinya—baru-baru ini Departemen Lingkungan Hidup Bali menargetkan kalau tahun ini bakal ada 200 bank sampah di Bali—naik dari 78 di 2017.
“Selain mendapatkan manfaat finansial, bank sampah juga efektif dalam mengurangi jumlah sampah plastik di komunitas kami,” ujar Dwara dari banjar Kulibul Kangin, yang bergabung dalam program bank sampah ecoBali sejak tahun lalu dan yang kini memiliki 30 anggota. “Masih ada kendala dalam mengajak orang untuk bergabung tapi saya senang anggota yang saya punya tidak terlalu memikirkan soal nilai ekonomis sampahnya tapi lebih karena mereka peduli kepada lingkungan. Beberapa anggota bahkan bakal mengumpulkan sampah dari luar rumah mereka ketika mereka lagi jalan-jalan seputar banjar atau setelah ada upacara.”
Dan hal tersebut jelas merupakan bonus.