Ni Wayan Ani Yulinda

“Mengatasi Masalah Sampah Mesti Mengubah Pola Pikir dan Perilaku.” 

Perkenalkan Ni Wayan Ani Yulinda. Dia dan tiga teman lainnya membentuk PlastikDetox Bali jauh sebelum topik plastik (sekali pakai) jadi isu panas di Pulau Dewata. Proses detoksifikasinya memang telah dimulai dan kian intens, namun seberapa jauhkah dari tujuan yang diinginkan? Kami bertanya ke Ibu Ani tentang situasinya di lapangan.

 

* English version available below

Apa inspirasi membentuk PlastikDetox Bali?

Saya bersama tiga orang lainnya (Anna Sutanto, Marc Antoine-Dunais, Natalie Giusti) yang tergabung dalam sebuah kelompok volunteer membentuk PlastikDetox Bali pada 2012 sebagai respon atas krisis yang ditimbulkan dari polusi sampah plastik di Bali. Sasaran spesifik kami adalah untuk membantu bisnis kecil dan menengah secara bertahap mengurangi penggunaan plastik sekali pakai (PSP) mereka. Kami melihat ada kebutuhan untuk bekerja bersama dengan bisnis kecil karena gerakan lain yang serupa fokus pada area hulu (kebijakan, edukasi) dan area hilir (pembersihan pantai).


Apa saja aktivitas yang dilakukan oleh Plastik Detox Bali?

Sampai saat ini PlastikDetox Bali telah bekerja bersama lebih dari 200 bisnis kecil di Bali, Bandung, dan Jakarta untuk mengurangi pemakaian PSP mereka; 18 bisnis di 26 lokasi di Bali telah bergabung dengan PlastikDetox; berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya (pemerintah lokal, gerakan lokal, gerakan nasional, BUMN, perusahaan multinasional, dan sektor swasta); memberdayakan volunteer dan membangun tim inti dari para volunteer terlatih; dan mengembangkan sistem deposit alat makan Taksu (Take – Use – Return) untuk mendorong penggunaan alat-alat makan pakai ulang pada acara yang bersifat insidental.

Sistem Deposit Taksu pada Pameran DLHK Denpasar 2019

Apa kendala pengelolaan sampah di Bali menurut Ibu dan apa solusi untuk ke
depannya?

Terbitnya Pergub Bali 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai bersama Perwali Denpasar 36 tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik menjadikan inisiatif yang dilakukan PlastikDetox bersama bisnis kecil semakin relevan. Peningkatan kesadaran publik untuk menerapkan peraturan ini terlihat di berbagai tempat di Bali dalam berbagai level. Namun sayangnya sejak wabah COVID-19 merebak, penggunaan PSP oleh bisnis kecil meningkat lagi karena tuntutan untuk mempertahankan pelanggan. Pada saat yang sama, industri plastik menyerbu pasar dengan produk alternatif kantong plastik dengan label “ramah-lingkungan” yang meragukan, sementara penegakan peraturan pemerintah masih lemah.

Jika dilihat secara lebih luas, pengelolaan sampah di Bali dan di Indonesia umumnya belum memadai. Jika langkah pencegahan dan pemilahan sampah belum dianggap sebagai aksi yang serius, beban pengelolaan sampah (tercampur) kita menjadi sangat berat, mulai dari tahapan pengumpulan, pengolahan sampai ke pembuangan residu ke TPA. Sampah yang terlanjur tercampur lebih cenderung menjadi residu alih-alih dipilah dan didaur ulang sebagai materi terpisah.

Berbagai peraturan tentang pengelolaan sampah sudah ada, penegakannya memang harus konsisten—dan saya lihat siap didukung oleh berbagai inisiatif dan gerakan yang dibentuk masyarakat. Diskusi soal mengatasi sampah bukan sekadar perkara teknis tentang teknologi apa yang harus dipakai. Hal yang sering dilupakan adalah untuk mengatasi masalah sampah mesti mengubah pola pikir dan perilaku. Setiap orang seharusnya bertanggung jawab dengan sampah yang dihasilkannya dan tidak hanya membebani pihak tertentu saja. Intinya, optimalkan berbagai gerakan/inisiatif yang sudah ada dan kuatkan penegakan aturannya. Kolaborasikan dengan konsisten karena pengelolaan sampah—mau tidak mau—adalah masalah yang harus diatasi bersama-sama.

Penyediaan Stasiun Isi Ulang Air Minum pada Sanur Festival 2019

 
Sebenarnya apakah ada kemajuan/hal positif soal sampah yang menurut ibu
mungkin tidak banyak orang tahu?

Tidak bisa dihindari Bali sebagai tujuan wisata internasional yang populer selalu menjadi sorotan, baik oleh individu di media sosial sampai ke berbagai media internasional. Terbitnya Pergub Bali dan peraturan setingkat kodya dan kabupaten terkait pembatasan PSP menjadi salah satu langkah baik untuk mengatasi polusi sampah plastik di Bali. Di sisi lain, dari waktu ke waktu, Bali banyak melahirkan gerakan untuk mengatasi polusi sampah plastik di Bali. Ini adalah hal-hal baik yang terjadi di sini, tapi untuk menjadikannya berhasil sesuai harapan kita bersama agar Bali bersih dan lestari, satu sama lain harus saling mendukung. Komitmen untuk melakukan gerakan dan menegakkan peraturan perlu dilakukan dalam jangka panjang secara konsisten.

Apa saja aksi zero waste/waste reduction yang Ibu terapkan dalam kehidupan
sehari-hari?

Dalam menjalani aktivitas sehari-hari saat beraktivitas ke luar rumah membawa botol minum sendiri dan sekarang hal ini ini sudah bukan hal yang aneh lagi, apalagi sudah didukung oleh pengadaan stasiun isi ulang air minum di beberapa tempat; lalu saya juga bawa tas belanja sendiri, pilih yang mudah dibawa, mudah disimpan, mudah dicuci; dan sampah kebun, kulit buah dan kulit sayur saya kelola sendiri di rumah.

Ginger Java Hut di Sanur yang telah jadi member PlastikDetox Bali

Makna Merdeka dari Sampah bagi ibu?

Merdeka…dapat berarti kita sebagai individu sebetulnya memiliki kuasa untuk menghasilkan sampah jenis apa, dan seberapa banyak. Dan lebih penting lagi, kita punya kuasa untuk TIDAK menghasilkan sampah jenis apa. Jika kita tahu kondisi pengelolaan sampah di Indonesia yang masih memerlukan banyak perbaikan, berapa persen tingkat daur-ulangnya dan kemana sebetulnya sebagian besar sampah kita itu berakhir, kita akan berpikir panjang dengan berbagai pertimbangan untuk membuat keputusan akan menghasilkan sampah jenis apa dan seberapa banyak.

Ikuti aksi dan kegiatan PlastikDetox Bali di IG mereka, @plastikdetoxbali

 

****

English Version

Meet Ni Wayan Ani Yulinda. She and three other like-minded friends founded the PlastikDetox Bali initiatives long before the topic of (single-use) plastic was the hot-button issue on the island. The detoxing process has begun and intensified, but how far along are we from the desired outcome? We talked with Ibu Ani about what’s really happening on the field.

What is the inspiration behind PlastikDetox Bali?

Me along with three other people (Anna Sutanto, Marc Antoine-Dunais, Natalie Giusti) were in a volunteer group once and we decided to form PlastikDetox Bali on 2012 as a response to the crisis caused by plastic waste pollution in Bali. Our specific target was to assist small and medium businesses to gradually reduce their usage of single-use plastic. We saw that there was the need to collaborate with these businesses because other initiatives were focusing more on the upstream level (policies, education) and downstream (beach clean-ups).

What have PlastikDetox Bali done so far?

To date we have worked with more than 200 small businesses in Bali, Bandung, and Jakarta to reduce their use of single-use plastic; 18 businesses in 26 locations in Bali have joined with PlasticDetox; we have collaborated with other stakeholders (local government, local and national initiatives, state-owned enterprises, multinational companies, and private sectors); empowered volunteers and built core team from trained volunteers; and developed a cutlery deposit system called Taksu (Take-Use-Return) to encourage the use of reusable cutleries at events.


What do you think are the roadblocks in terms of waste management in Bali and what are the solutions?

The issuance of Governor Regulation no.97/2018 on the Restrictions of Single-Use Plastic along with the Mayor Regulation 36/208 on the Reduction of the Usage of Plastic Bag has made our initiatives with small businesses more relevant than ever. The increase in public’s awareness to implement the rule can be seen in several place in Bali in every level. But unfortunately, since the COVID-19 situation, we’ve seen an increase in the usage of single-use plastic by small businesses because of the demand to maintain customers. At the same time, the plastic industry has flooded the market with alternative plastic products with unverified “eco-friendly” label, meanwhile the enforcement of the regulation itself is still weak.

From a broader perspective, the waste management in Bali, and in other parts of Indonesia, is still lacking. If the prevention strategy and waste separation are not still perceived as serious solutions, then the burden of (mixed) waste management becomes more difficult, starting from the collection stage, the management, to the disposing of residues in landfills. Instead of being separated and recycled, these mixed waste ends up becoming residues.

Many regulations on waste management are already in place, but the enforcement must be consistent—and I see that it is ready to be supported by several initiatives and movements. The conversation around how to deal with waste shouldn’t just be about what kind of technology we should use. The thing that people often forget is that to really deal we need to change the mindsets and behaviors first. Everyone should be responsible with the waste that they produce themselves and not burden one party. The point is, optimize our existing movements and initiatives and strengthen the enforcement of the regulation. Collaborate consistently because waste management—whether we like it or not—is a problem that we should handle together.

Do you think there are positive changes in Bali that perhaps not that many people know?

Well, inevitably Bali as a popular tourist destination will always be in the spotlight, by individuals in social media to international media. The issuance of the Governor Regulation and other regulations on a regency level in relation to restricting the use of single-use plastic has been a step in the right direction. On the other hand, Bali has also seen many positive movements and initiatives that we ought to celebrate. These are the positives things that have been happening, and for them to succeed, all parties must support one another. The commitment to the solution needs to be long-term and consistent.

So what zero waste actions have you done in your daily life?

When I go out I bring my own drinking bottle and now it’s not a rare thing anymore, especially since there are water refill stations available in several places; I also bring my own shopping bag and I pick a bag that’s easy to carry, stored, and washable; and I managed my garden and kitchen waste at home.

 What does independence from waste means to you?

Independent, means that we as individuals have the power to produce a certain type of waste, and how many. More importantly, we have the power to NOT produce a certain type of waste. When we know the waste management condition in Indonesia needs a lot of improvement, the percentage of waste being recycled, and where most of our waste ends up in, we will definitely think long and hard to decide what kind of waste we would produce and how many.

Catch up with their detoxification activities at IG @plastikdetoxbali

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *