Tuesday, 18th August 2020 at 05:47:27
Gus Nara
“Mengelola Sampah itu Keren”
Perkenalkan Mandhara Brasika alias Gus Nara, pemuda asal Gianyar berusia 28 tahun yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu sampah.
Yang jelas perjuangannya sejauh ini telah membuahkan hasil: melalui komunitas Griya Luhu ia telah membentuk bank sampah di desanya yang operasionalnya bahkan telah dilengkapi dengan mobile app yang dia kembangkan sendiri. Plus, dua tahun lalu, ia termasuk salah satu tim penyusun Pergub no.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Mau tahu lebih mengenai apa yang mendorong inisiatif Gus Nara? Simak wawancara berikut.
* English version is available below
Kenapa kita begitu bermasalah dengan sampah?
Isu sampah sangat dekat dengan kita namun sayang banyak dari kita yang belum menyadari soal betapa seriusnya isu yang satu ini. Banyak orang lokal yang masih menganggap sampah itu merupakan sesuatu yang asing, kayak alien.
Padahal orang Bali punya nilai sendiri yang disebut palemahan, yaitu harmoni dengan lingkungan. Tapi seiring dengan waktu, nilai tersebut hanya jadi kata-kata saja dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata. Jadi ada gap antara apa yang semestinya kita lakukan dan apa yang telah dilakukan.
Apa solusi kamu?
Saya membentuk Griya Luhu di tahun 2017, sebuah social enterprise yang bergelut di bidang pengelolaan sampah di wilayah Gianyar dan kita mencoba menyajikannya dengan cara yang “anak muda banget”. Kita mencoba untuk membuka pikiran orang-orang lokal yang mungkin selama ini karena ada industri pariwisata jadi merasa hidup sudah nyaman. Kita mencoba menularkan soal isu yang “tidak terlihat” ini.
Kebetulan saya sempat dapat beasiswa kuliah S2 di Imperial College London di mana saya belajar tentang Teknologi Lingkungan. Setelah balik kampung saya mulai memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mengurangi permasalahan sampah, terutama di Gianyar tempat saya tinggal. Saya mencoba menerjemahkan ilmu-ilmu yang telah saya terima ini ke bahasa lokal.
Isu sampah sebenarnya merupakan isu yang global tapi ketika saya pulang saya merasa tidak ada perubahan di masyarakat saya sendiri.
Kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh Griya Luhu?
Kami mengunjungi sekolah-sekolah untuk edukasi soal sampah serta melakukan kegiatan yang fun dan bermanfaat seperti membuat produk daur ulang dari sampah plastik. Kami juga mendatangi banjar-banjar sekitar terkait pembentukan bank sampah.
Untuk mendukung pendanaan, kami menawarkan produk-produk ramah lingkungan seperti Kes Kas, yaitu rangkaian produk keset kaki yang kami ciptakan dari kain perca bekas dari pabrik garmen yang biasanya bakal dibakar atau dibuang ke sungai apabila tidak diolah, dan yang mengerjakannya adalah ibu-ibu dari desa yang kini memiliki sumber pemasukan alternatif bagi keluarga mereka.
Tapi semenjak terjadinya pandemik, kegiatan edukasi dan produk memang kita stop dulu. Dan sekarang fokus kita adalah ke Mobile App khusus untuk bank sampah yang fungsinya untuk membantu pengelolaan bank sampah, karena kegiatan ini bisa sangat time consuming.
Jadi aplikasinya sendiri ada beberapa fitur, seperti PAS Identification yang menggunakan QR Code supaya kita bisa baca siapa pemilik sampah dengan cepat; Waste Quantification yang tujuannya untuk menghitung langsung jumlah sampah dan jenis sampah, jadi tak perlu lagi hitung pakai kalkulator; terus terakhir ada Waste Quality Control yang pakai sistem rating seperti gojek online, jadi nanti bisa ketahuan kualitas pemilahan misalnya apakah masih ada air atau sampah lain yang tidak semestinya ada di karung sampah yang mereka bawa. Bahkan pernah ada popok di dalamnya, hahaha.
Dan App ini sudah aktif?
Ya sudah kita terapkan di tiga bank sampah kita—Bank Sampah Satya Perthiwi, Bank Sampah Satya Dharma, dan satu lagi di Banjar Desa Lebih Beten Kelod—meski masih ada yang perlu diperbaikin. Nantinya sistem ini akan kita lempar ke bank sampah siapapun yang mau adopsi karena aplikasinya sendiri kita kembangkan tanpa embel-embel sponsor jadi bebas untuk dipakai siapapun ke depannya.
Apakah ada program untuk memancing keterlibatan orang dalam bank sampah?
Kita waktu itu pernah mengadakan program donasi di mana orang bisa menyumbang sebesar 5000 rupiah saja dan dengan uang yang kita galang kita beli sayur-sayuran dari petani-petani lokal di Gianyar lalu kita berikan kepada orang-orang yang membawa sampah ke bank sampah. Jumlah peminatnya lumayan banyak—kita sampai mesti dua kali angkut waktu itu. Dan dari programnya sendiri uang yang kita terima selama masa programnya mencapai sekitar 20 juta.
Gimana cara melibatkan anak muda dalam kegiatan bank sampah?
Kebetulan memang pengelola bank sampah kita adalah anak-anak muda tapi kita memang perlu memegang ‘tokoh’, seperti di desa saya ada ibu-ibu PKK dan satu lagi klian banjar. Saya lihat sih di desa-desa sebenarnya energi anak-anak mudanya besar cuman mungkin ya kurang inisiatif dan masih ragu-ragu ambil keputusan jadi perlu ada yang mendorong mereka. Untungnya kita di Griya Luhu juga kebanyakan anak-anak muda jadi kita ngomongnya juga enak.
Gus Nara termasuk dalam tim penyusun Pergub no.97, tahun 2018, nah melihat eksekusinya apakah sudah puas?
Sayangnya, belum, karena menurut saya sebelum COVID saja penerapannya masih jauh dari ekspektasi, meski oke lah karena juga banyak inisiatif. Nah saat COVID justru jadi lebih parah. Orang jadi serba takut, segalanya mesti serba steril, mesti serba dibungkus. Sekarang sebagian besar saya rasa sudah melupakan peraturan itu, dan mungkin hanya teman-teman penggiat yang masih getol, tapi yang saya lihat dari pihak lain jadi mundur lagi karena berbagai alasan, termasuk alasan kesehatan. Padahal sebetulnya kalau kita ambil contoh menggunakan botol plastik kan kita nggak tahu itu dipegang siapa, sementara kalau kita bawa botol sendiri kita tahu sudah dicuci jadi bisa dikontrol.
Jadi apa yang mesti kita lakukan ke depannya?
Dari sisi regulasi sebenarnya sudah selesai. Yang sekarang perlu dibuat adalah Recycling Center karena sekarang kita kan masih perlu kirim keluar, dan beberapa bank sampah sekarang saya perhatikan juga banyak yang drop karena beberapa harga produk turun. Untungnya masyarakat yang saya pegang sekarang kebanyakan nggak mikirin soal harga, tapi bagi orang yang melihat nilainya pasti berasa sekali. Saya sempat ikut rapat dan sempat ada wacana untuk buka Recycling Center di Jembrana, dan ini yang mesti dipercepat. Semoga bisa dipercepat keputusannya.
Sementara dari sisi masyarakat saya rasa tinggal pemahamannya saja sih. Saya lihat pertumbuhannya sudah mengarah ke sana, dan bank sampah juga semakin berkembang. Ada dua temen saya yang membuat bank sampah dalam waktu dua bulan belakangan ini. Tinggal kita saja yang memfasilitasi, entah itu dari pemerintah, Griya Luhu atau ecoBali. Fasilitasi dalam artian, masyarakat sudah mau pilah, nah pertanyaan berikutnya pasti adalah, sampah di bawa pergi ke mana? Kalau nggak ada jawabannya ya mereka nggak mau lakuin.
Ada tidak perubahan dan hal positif lainnya yang terjadi di Bali yang mungkin belum banyak orang tahu karena kurang ter-expose?
Saya lihat dari pihak pemimpin daerah di level kecil seperti desa sudah ada perubahannya. Mereka lebih aware dan mau polanya berubah, jadi tidak lagi melihat sistem angkut-buang sebagai solusi. Di level kepala desa, entah itu desa adat atau desa dinas, dalam jangka setahunan ini ada beberapa tokoh yang lumayan telah bertindak. Mereka tak hanya menghimbau tapi juga telah membuat kebijakan, misalnya dengan mendirikan bank sampah atau mengolah sampah organik untuk digunakan ke pertanian.
Sebagai contoh Desa Bedulu di Gianyar sudah buat pilot project TPS3R termasuk untuk sampah organik, Desa Tembok di Buleleng juga bagus pengelolaan sampahnya dengan adanya bank sampah, dan yang bagus juga adalah teknologi yang dibuat temen-temen anak muda dari Yayasan Kaki Kita Sukasada di Singaraja. Mereka mengolah sampah plastik yang dilelehkan lalu mereka jadikan meja, kursi, lemari, hingga kaki palsu. Mereka bekerja sama dengan sebuah klinik khusus perawatan luka dan penyandang difabel. Kaki palsu kan harganya mahal—bisa sampai dua jutaan—jadi mereka membuat kaki palsu dengan plastik yang telah dilelehkan. Harganya bisa hanya 200-300 ribuan
Dan saya perhatikan juga sekarang makin banyak yang aware kalau urusan sampah itu nggak selesai dengan mengurus plastik saja, karena proporsi yang terbesar sebenarnya kan adalah organik. Makanya sekarang saya lihat banyak orang yang mulai komposting, bikin ecoenzyme (cairan pembersih alami dari fermentasi kulit buah), dan BSF (black soldier fly) juga lagi naik daun,
Siapa tokoh pegiat lingkungan yang kamu idolakan?
Pak Wayan Sutirka dan Bu Komang Ayu, suami-istri yang mengelola Bank Sampah Dywik di Bangli. Menurut saya mereka jarang sekali di-highlight padahal mereka saat ini telah jadi induk ratusan bank sampah di Bangli. Mereka orangnya sederhana tapi semangat mengelola sampahnya luar biasa.
Pesan apa yang bisa Gus berikan ke generasi muda supaya lebih peduli dengan sampah?
Mengelola sampah itu sebenarnya bisa keren. Keren dalam artian bisa memiliki dampak yang positif. Seperti kegiatan saya selama ini bisa lebih mendekatkan saya dengan masyarakat, seperti petani yang memberikan saya buah atau nelayan yang memberikan saya ikan, dan itu memberikan saya kebahagiaan tersendiri. Keren juga karena kita merasa berguna, dan jadi petugas sampah itu tidak melulu identik dengan orang miskin dan yang terbelakang secara sosial. Saya merasa keren karena saya bisa memutarbalikkan persepsi itu dan hasilnya kini sangat melampau ekspektasi.
Bagaimana caranya agak kita Merdeka Dari Sampah?
Sederhana saja sih sebenarnya: bisa mulai dengan mengompos di rumah. Sekarang kan lagi tren orang berkebun karena pandemi, dan dengan mengompos akan memberikan kita banyak kepuasan. Pertama, sampah itu nggak keluar ke mana-mana, dan kedua, puas karena sampah itu menjadi sesuatu.
Dan hal kedua adalah dengan memilah. Kalau bisa buatlah bank sampah sendiri dan jadilah pahlawan di daerahmu sendiri. Kalau tak bisa ya setidaknya memilah untuk diri sendiri, bisa dengan buat kompos dan mengirim sampahmu ke bank sampah.
Kalau ada yang tertarik tapi bingung gimana cara buat bank sampah?
Langkah pertama: kontak Griya Luhu atau ecoBali, hahaha
Ikuti terus kegiatan Gus Nara dan tim di akun IG @GriyaLuhu
English Version
Meet Mandhara Brasika aka Gus Nara, the 28-year-old eco-activist from Gianyar. He’s all action these days: through the community he founded, Griya Luhu, he has founded three waste banks in his village that are supplemented with a mobile app he developed himself. Plus, about two years ago, he was part of the advisory team of the Governor Regulation no.97/2018 Regarding the Restriction of Single-Use Plastic. Quite an achievement (thought he admits the flaws in its execution). Get to know more about Gus Nara in our interview before.
So why are we so problematic with waste?
The issue of waste is very close to us but unfortunately many of us still haven’t realized how serious the issue is. Many local people still sees waste as something that is foreign, like an alien…
The Balinese actually has its own traditional values which we call palemahan, which is harmony with the environment. But as time goes by, that value is mere words and bears no relations to reality. So there is a gap between what we should do and what has been done.
So what is your solution?
I founded Griya Luhu in 2017, a social enterprise that focuses on waste management in Gianyar and we try to present in a way that can engage the young people more. We try to open the minds of the local people who after all this time might find life already comfortable thanks to the tourism industry. We try bring up this “invisible” issue.
Just so happen I’ve gotten a scholarship at Imperial College London for a Master’s Degree in Environmental Technology. After I went back home I started to ponder what I can do to help alleviate the waste problem, especially in Gianyar where I lived. I tried to interpret the knowledge that I acquired into the local vernacular.
The waste issue is actually a global issue but when I came home I feel that there are no changes in my own community.
So what are the activities you do at Griya Luhu?
We visit schools to educate students about waste as well as other fun and useful activities such as creating things from recycled plastic. We also visit the surrounding banjar (subdistrict councils) to discuss the idea on forming waste banks.
To support our funding, we offer eco-friendly products like Kes Kas, a line of floor mats made from used fabrics from garment factory which would usually be burned or thrown into the river if not managed, and the people who made it are the women from the village, and now they have an additional source of income for the families.
However, due to the pandemic, we are temporarily stopping the educational activities and the products division. Right now we are focusing on developing a mobile app specifically designed to help run waste bank operations, because running the waste bank can be very time consuming.
The application has several features, such as Waste Identification that uses QR Code that we can scan to know who owns the waste; Waste Quantification is to count the number of waste and its value, so we no longer need to use a calculator; and lastly there’s the Waste Quality Control that uses a rating system like Gojek, and this is for determining the quality of the waste separation, whether there’s still water or other waste that shouldn’t belong in bag that they bring. We even found a diaper once, hahaha.
And this app is active already?
Yes, we have already applied it in our three waste banks but we still need to tweak it. In the future this system can be adopted by other waste banks because we develop the app ourselves without any sponsor backing.
So are there program you offer to entice people to get involved in waste bank?
We had a donation program not long ago where people can donate money as little as five thousand rupiah and we use the money collected to buy vegetables from local farmers in Gianyar and we give them to people who brings their waste to the waste bank. We were happy with the result—we had to collect the waste twice with our pick-up. And from the donation we amassed around twenty million.
So what is your secret to involve young people in waste bank activities?
Well, the team running our waste banks are actually comprised of young people from the local youth organization (STT) but we still need to have a respected, older figure, like for example in my village we have the women from PKK (local women organization) and the head of the village. I see that these young people have high energy but they just lack initiatives and still indecisive to certain things so they need someone older to push them. Luckily we at Griya Luhu are also mostly young people so that makes our interactions easier.
You are part of the advisory team of the Governor Regulation no.97, year 208, that bans plastic bags, straws, and styrofoam. Are you satisfied with the implementation of the regulation so far?
Unfortunately, no, because I think even before COVID-19 the implementation is still below expectations, even though it is good that there were a lot of initiatives as well. Then after COVID things actually got worse. People were fearful, everything must be sterile and wrapped. Now most people seems to forget the regulation, save for those who really have high concern for the environment, but the way I see other parties seem to backing off for a variety of reason, including health reasons. It shouldn’t be like that because in reality, for example, when we buy plastic bottles we don’t know who have touched the bottles, while if we use our own bottles we know it is washed and we can control the situation.
So what needs to be done in the future?
From a regulatory standpoint, it’s actually done, we just need to strengthen the monitoring. And also what needs to be done is to build a recycling center because right now we are sending the recyclables out of the island, and several waste banks I notice are underperforming or closed because the prices are plummeting. Luckily the community I am working with now aren’t bothered with the value, but for those who are, they really feel the impact. I attended a meeting with the environmental agency and there are plans to build a recycling center in Jembrana in west Bali and I hope the decision making can be done immediately.
Meanwhile, on a community level it all comes down to awareness. I see the growth is heading into the right direction, and waste banks are also flourishing. I have two friends who founded their own waste banks in the past two months. Now it is up to us to facilitate them, be it from the government, Griya Luhu or ecoBali. Facilitate in the sense that, people already want to separate, now the next question is, Where should I take these sorted waste? If they don’t know the answers then they won’t do it.
Are there other positive changes happening on the island that perhaps not that many people know yet?
I see that there are changes in the mindset of the local government in the village level. They are more aware and they want the pattern to change, so it’s not just collect and dispose anymore as a solution. There have been several village chiefs who in the past year have taken action. They don’t just make an appeal but also formulate regulations, like having a waste bank or to manage organic waste that they then use for agriculture.
For example in Bedulu Village in Gianyar has launched a TPS3R (sorting facility) pilot project that includes organic waste, Tembok Village in Buleleng also has good waste management through their waste bank, and what’s cool is also the technology made by friends from Kaki Kita Sukasada Foundation in Singaraja. They melt plastic waste and turn them into tables, chairs, closets, and even prosthetic leg. They collaborate with a clinic that specializes in treating the disabled. Prosthetic legs can be very expensive—around two million—so with the ones that they made from recycled plastic, the price range can go down to two-three hundred thousand.
Other than that, I also noticed that more people are aware that the problem with waste doesn’t just end with plastic, because the biggest proportion is actually the organic. That’s why I see a lot of people are now composting, making eco-enzyme, and black soldier fly for composting is also getting popular now.
Are there environmental figure you admire?
Pak Wayan Sutirka and Bu Komang Ayu, the husband and wife behind Bank Sampah Dywik in Bangli. I think they are rarely highlighted even though they have ushered hundreds of waste banks in Bangli. They are humble people but their passion in managing waste is amazing.
What message can you give to the young generation so that they care more about waste?
Managing waste is actually cool. Cool in the sense that it can bring positive impacts. Like what I am doing right now can get me closer to my community; farmers who joins the waste bank brought me fruits or a fishermen who gave me their catch, and it gives me such personal pleasure. Cool because it is useful, and cool because I am able to change the perception that people who manages waste isn’t always someone who comes from economically and socially disadvantaged background. The outcome has far exceeded my expectations.
So how do we really can be liberated from waste?
It’s simple, really: start with composting at home. The trend amongst people now during the pandemic is to garden, and composting will give you a certain contentment. First, your organic waste doesn’t go anywhere, and second, it has become something.
The second thing is by separating your waste. If possible create your own waste bank and be a hero in your own community. If it’s not possible, then at least separate for yourself, either by composting and sending your recyclable to a waste bank.
So if someone’s interested to open their own waste but don’t know where to start, what should they do?
First step: contact Griya Luhu or ecoBali, hahaha.
Follow more of Gus Nara’s action on Griya Luhu’s IG account @GriyaLuhu